Belajar menjadi penerbit

September 1994. Ketiga kalinya saya memasuki gerbang Kanisius. Kali pertama sekitar tiga tahun berselang, saat saya bersama rombongan seminaris mampir berkunjung. Kali kedua beberapa bulan sebelumnya, saat saya mengikuti ujian saringan. Kali ini saya datang sebagai karyawan. Saya membuka lembaran hidup yang benar-benar baru. Yogya adalah kota baru, ratusan kilometer jauhnya dari kota asal saya, Bandung. Tak ada sanak saudara di sini. Penerbitan pun sebuah dunia yang masih asing bagi saya. Saya kenal buku — dan buku-buku Kanisius termasuk teman yang paling dekat dalam perjalanan hidup saya — tapi membuat buku? Sama sekali asing. Banyak hal yang perlu saya pelajari. Dan benarlah, tak lama kemudian, jelaslah bagi saya bahwa di balik sebuah buku ada sebuah proses yang panjang, dengan keringat banyak orang, tak jarang disertai diskusi berlarut-larut, perdebatan, kadang kerja lembur sampai pagi. Kompleks. Untuk melahirkan sebuah buku yang bagus dan bermutu, ternyata diperlukan paduan sekian keterampilan dan seni bekerja.
Syukurlah, tugas pertama saya sebagai seorang trainee adalah belajar. Di bawah bimbingan para senior seperti Pak Puja, Mas Bowo, dan Mas Edhi, saya dituntun untuk membaca sejarah Kanisius, mengenali macam-macam format buku, membandingkan pemakaian jenis huruf, meneliti kesalahan cetak, mendaftar klasifikasi terbitan. Kemudian, saya mulai dilatih untuk menilai layak terbit tidaknya sebuah naskah, sebelum akhirnya diajari menyunting naskah, pekerjaan utama seorang editor. Pokok terpenting yang saya pelajari dari masa orientasi itu adalah bahwa sejak amat dini seorang editor harus punya perspektif menyeluruh tentang sebuah buku. Begitu naskah sampai di depan hidung saya, segeralah saya menyalakan proyektor imajiner: siapa yang nantinya akan membaca buku ini, apa saja yang mereka inginkan dari buku semacam ini, ada berapa banyak kira-kira pembacanya, bagaimana bentuk dan tampilannya agar buku ini dapat dicerna dan disukai pembacanya.
Terdengar sederhana? Nyatanya tidak, karena mengasah indera penciuman agar tajam dan melatih agar proyektor imajiner itu menampilkan gambaran serealistis mungkin ternyata bukan hal yang mudah dipelajari. Bahkan mereka yang sudah banyak makan asam garam di bidang penerbitan pun, taruhlah Pak Priyanahadi dan Pak Supriharsono, mengakuinya. Kadang buku yang diyakini pasti laku dan lalu diterbitkan dengan promosi gencar dalam kenyatannya jeblok di pasaran. Sebaliknya, buku yang diterbitkan tanpa antusiasme karena prospek pasarnya dinilai biasa-biasa saja malah laku keras sehingga harus dicetak berulang-ulang. Satu lagi yang saya pelajari: editor perlu berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua bisa diprediksikan, bahwa di bidang penerbitan pun ada misteri. Toh, itu mengasyikkan, menantang.
Dalam pekerjaan menyunting naskah, berjumpalah saya dengan banyak persoalan. Salah satu persoalan klasik adalah tentang tanda baca, ejaan, penomoran subbab, dan peristilahan baku. Ada orang-orang yang tidak habis pikir, untuk apa repot-repot mengurusi perkara remeh seperti titik, koma, tanda kutip. Terhadap ungkapan itu, para editor punya satu jawaban yang khas. Tanda baca adalah tanda untuk membaca, pedoman untuk menangkap gagasan dalam tulisan, maka bila pembaca tersesat karena membaca tanda baca yang keliru, berdosalah ia yang membuat kekeliruan itu. Sebaliknya, berbahagia dan berbanggalah ia yang berhasil membawa pembaca selamat sampai tujuan. Dengan keyakinan akan itu, saya membolak-balik buku referensi semacam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ini semua sebetulnya bahan yang pernah diajarkan kepada saya bertahun-tahun sejak SMP hingga SMA bahkan sewaktu mahasiswa. Bedanya, dulu saya dan kawan-kawan sekelas mempelajarinya sebagai kewajiban yang membosankan, sekadar syarat naik kelas karena tidak boleh merah nilainya, kini saya membacanya dengan penuh gairah karena tujuan problem solving.
Saya cukup puas karena banyak perkara dapat diselesaikan setelah mendapat pencerahan dari buku-buku itu. Namun, tidak selamanya tersedia solusi yang pasti. Misalnya, mana yang betul: praktek atau praktik? Kamus resmi keluaran tahun 1983 mengatakan yang baku adalah praktik, kamus tahun 1988 praktek, dan edisi terbaru kembali lagi ke praktik. Rupanya, lain penyusun kamus, lain pula pandangannya, dan masing-masing dengan argumentasinya sendiri yang sama-sama masuk akal. Mau ikut yang mana? Kalaupun keduanya benar, tidak mungkinlah dalam sebuah buku kedua istilah itu muncul bersamaan tanpa menimbulkan kesan gegabah atau tidak serius di mata pembaca. Editor harus memilih. Maka, satu lagi yang saya pelajari: dalam pekerjaan menyunting, pentinglah menjaga konsistensi, bahkan “lebih baik salah tapi konsisten daripada benar tapi tidak konsisten”. Mungkin sepintas terdengar janggal dan tak bermoral, tapi itulah hukum emasnya para editor.
Salah satu hal yang menyenangkan bekerja di Kanisius adalah tersedianya perpustakaan yang cukup baik. Berbagai kamus dan ensiklopedi yang penting tersedia. Kalau saya membutuhkan sumber rujukan yang tidak ada di perpustakaan, saya bisa mengusulkan agar buku itu disediakan, dan — inilah yang menyenangkan — biasanya dikabulkan! Betapa gembira hati ini ketika buku yang amat saya nanti-nantikan datang ke meja saya, yaitu Chicago Manual of Style edisi ke-14 dan Indexing Books. Yang pertama adalah buku dengan tebal seribuan halaman, berisi pedoman tentang segala macam unsur dalam penyusunan buku. Semula buku itu dipakai oleh penerbit Chicago University Press untuk keperluan mereka sendiri, namun kini menjadi semacam kitab sucinya para penerbit sedunia. Yang kedua adalah pedoman yang cukup mendetail tentang seluk-beluk menyusun indeks buku. Letaknya yang di bagian belakang mengesankan indeks sebagai unsur tambahan yang tidak penting, tetapi sesungguhnya indeks yang disusun dengan baik merupakan alat bantu yang sangat berguna bagi pembaca. Saya ingin agar Kanisius juga memiliki pedoman penyuntingannya sendiri meski tidak harus selengkap Chicago Manual of Style. Saya juga ingin agar buku-buku Kanisius, terutama buku-buku ilmiahnya, dilengkapi dengan indeks yang baik. Bersama beberapa kawan saya mulai mengumpulkan materi yang diambil dari berbagai pedoman dan dari praktek kami sehari-hari. Hasilnya baru berupa pedoman singkat yang masih jauh dari apa yang kami inginkan. Lebih banyak perhatian tersita untuk menyelesaikan pekerjaan menyunting sehari-hari. Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama lagi, pedoman itu bisa terwujud.
Hal baru yang membuat saya grogi adalah komputer. Pada waktu menyusun skripsi tahun 1993 saya memang sudah menggunakan komputer dengan aplikasi WordStar under DOS, tetapi sebatas sebagai pengganti mesin tik. Lebih dari itu saya tidak tahu apa-apa dan memang saya tidak peduli karena tujuan saya waktu itu adalah menyelesaikan skripsi. Di Kanisiuslah mata teknologi saya dicelikkan. Saya belajar bahwa komputer merupakan perangkat yang ampuh dalam proses penerbitan. Dengan aplikasi pengolah kata Microsoft Word, misalnya, pekerjaan mengetik dan menyunting menjadi sangat mudah. Saya tak perlu repot-repot mengetik ulang, menggunting, dan menempel teks naskah, sebagaimana dilakukan oleh para editor pada masa lampau. Tak perlu khawatir salah ketik karena sewaktu-waktu saya dapat memeriksanya kembali dari awal sambil memperbaiki semua kesalahan yang dibuat, tanpa memboroskan tinta, tipp-ex, dan kertas. Bukan hanya tugas pribadi dapat terselesaikan dengan lebih efisien, kerja sama dengan rekan-rekan di bagian lain pun amat dimudahkan. Agar hasil suntingan saya dapat dikerjakan layout-nya dan dicetak, saya cukup men-share salah satu folder di komputer saya, lalu memberitahukan kepada rekan di bagian Composing nama berkas yang saya share. Berikutnya, mereka dapat mengambil berkas itu tanpa beranjak sesenti pun dari tempat duduk. Itu berkat adanya jaringan lokal yang menghubungkan semua komputer di perusahaan ini.
Karena saya paling “bego” di antara rekan-rekan lain, saya memaksa diri untuk banyak bertanya pada mereka. Sumber rujukan yang sangat resourceful adalah Mbak Punki, cewek mantan editor yang paling jago komputer pada saat itu. Untung pulalah di Kanisius ada orang seperti Mas Totok Teknik, sang administrator komputer yang sangat luas pengetahuannya dan senang membantu. Tapi, tidak mungkin tiap saat bertanya, apalagi pada saat mereka juga harus menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk. Maka, saya luangkan waktu untuk belajar sendiri tentang komputer. Sementara teman-teman sekantor pulang ke rumah jam 14.30, saya kadang tetap tinggal di belakang meja komputer sampai sore atau malam, membolak-balik file Help dan Readme.txt. Saya belajar bahwa kedua jenis file tersebut adalah sumber pengetahuan yang sangat berharga untuk mempelajari seluk-beluk komputer. Ada kawan yang sudah enggan terlebih dulu karena harus berhadapan dengan teks bahasa Inggris karena harus membolak-balik kamus. Tetapi, memang pada zaman sekarang ini penguasaan bahasa Inggris, minimal pasif, adalah syarat mutlak untuk tidak ketinggalan zaman. Untuk dapat mengikuti perkembangan zaman, kiranya membolak-balik kamus adalah harga yang sangat murah.
Saya juga belajar dari kesalahan. Saya tidak pernah akan lupa pil pahit yang harus saya telan sewaktu menyunting naskah Iman Katolik. Berdasarkan petunjuk kamus, saya hendak mengganti semua kata “isteri” menjadi “istri”. Supaya cepat, saya gunakan fasilitas “Replace All” yang ada dalam aplikasi Microsoft Word. Satu kali klik, selesailah masalahnya. Selesai? Tidak. Justru bencana yang saya hadapi. Terpaksalah saya menelusuri teks dari awal karena ternyata semua kata “misteri” pun kepalang ikut berubah menjadi “mistri” dan semua “magisterium” menjadi “magistrium”. Alamak, yang sudah benar malah menjadi keliru. Di tangan orang bodoh atau ceroboh, komputer hanyalah rangkaian elektronik yang tak bermanfaat, bahkan bisa berbahaya. Namun, pengalaman melakukan kesalahan adalah juga motivator berdaya besar untuk belajar. Sekarang saya tahu persis apa yang harus saya lakukan.
Namun, sumber belajar yang paling penting adalah rekan-rekan sekerja, yakni kawan-kawan di Redaksi dan di bagian lain. Dan kesempatan paling bagus untuk belajar adalah ketika menemui masalah. Dari rekan-rekan di bagian Composing saya belajar bahwa kalau sudah sampai pada taraf page-proof atau pruf PM, menghilangkan dan menambah satu kata pun bisa mengobrak-abrik hasil pekerjaan tekun sekian hari. Maka, koreksi pruf harus dilakukan dengan cerdik. Dari mereka pulalah saya mengenal istilah-istilah seperti raster, setspiegel, montage, overbrink, kerning, drop cap, broken link, moire. Saya paling suka kalau bermasalah dengan Pak Subagio karena beliau ini orang yang wawasannya luas, tahu tentang seluk-beluk percetakan sampai ke tulang-tulangnya, dan teman diskusi yang menyenangkan. Akibatnya, setiap kali muncul masalah, ujung-ujungnya justru pengetahuan saya bertambah.
Pengalaman bekerja sama dengan rekan di bagian lain mendorong saya untuk mencoba belajar sendiri aplikasi PageMaker dan Photoshop. Dalam satu kesempatan saya minta diperbolehkan membuat sendiri setting satu buku yang saya sunting. Untunglah diizinkan karena di situlah saya semakin mengerti tentang apa yang dikerjakan dan permasalahan seperti apa yang dihadapi oleh rekan-rekan di bagian Composing. Semenjak saat itu, saya makin tahu apa yang harus saya lakukan agar kerja mereka dipermudah.
Sarana belajar saya bertambah ketika pada tahun 1996 saya diperkenalkan pada internet, jaringan yang menghubungkan sekian juta komputer di seantero dunia. Luar biasa. Dan memang luar biasalah efek yang dibawa oleh perkembangan teknologi informasi mutakhir ini. Komunikasi dipermudah, dan lalu segala macam informasi menjadi terjangkau oleh siapa pun. Saya mulai suka mengunjungi warnet. Kegemaran saya adalah browsing situs-situs penerbit dan komunitas perbukuan. Kadang-kadang beberapa informasi yang menurut saya penting saya simpan di disket yang selalu saya bawa ke mana-mana, lalu saya bagikan kepada rekan-rekan di kantor. Kanisius pun, meskipun terhitung lambat dibandingkan penerbit lainnya yang kecil sekalipun, kemudian mengadopsi teknologi itu, mulai dengan sistem dial-up hingga sekarang lewat wave-LAN. Sayang bahwa editor tidak diberikan akses selain lewat satu komputer di perpustakaan yang berarti tidak bisa rutin karena harus antri dengan sekian banyak karyawan lain.
Tidak selamanya belajar dianggap baik. Saya tidak pernah habis mengerti ketika ada orang berkata, “Wis to, editor tidak usah belajar macam-macam aplikasi. Cukup pelajari saja Microsoft Word. Jangan mau tahu segalanya.” Saya setuju spesialisasi, bahwa orang perlu terampil di satu bidang tertentu. Tetapi saya tidak setuju anjuran untuk tidak belajar. Satu lagi yang saya pelajari: justru ketidaktahuanlah yang seringkali menimbulkan salah pengertian dan inefisiensi. Justru semakin banyak yang saya ketahui, semakin luaslah sudut pandang saya dan semakin tahulah saya cara menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan lebih cepat. Pengetahuan itu berguna juga ketika saya menularkannya kepada rekan yang lain sehingga mereka bisa menyelesaikan pekerjaannya, dan dengan demikian mendukung tercapainya tujuan perusahaan.
Syukurlah pimpinan saya, Pak Priyanahadi dan Mas Marsana, adalah orang-orang yang sangat mendorong para editor untuk terus belajar. Mas Marsana merintis diselenggarakannya forum studi bersama hari Sabtu terakhir setiap bulan. Dalam forum itu para editor bertukar pikiran tentang berbagai hal sehubungan dengan pekerjaan sehari-hari, juga tentang hal-hal yang bukan pekerjaan kami tetapi berkaitan erat dengan penerbitan. Maka, kami pun belajar menggunakan aplikasi PageMaker dan Photoshop di bawah bimbingan Mas Jaya Supena, penata grafis Majalah Familia. Pernah juga kami mendalami persoalan kebahasaan dengan mengundang narasumber Pak Praptama, staf pengajar dari Universitas Sanata Dharma. Kami juga mengundang Mas Agus Haryanto dari bagian Keuangan untuk menggambarkan seluk-beluk perpajakan dalam bisnis penerbitan. Di samping upaya belajar secara pribadi, saya yakin, kesempatan belajar bersama seperti ini, bukan hanya di Redaksi tapi juga di bagian lain, sangatlah positif bagi perusahaan.
*
September 2002. Sudah tiga tahun ini semenjak akhir 1999 saya mengepalai Divisi Humaniora dengan tugas mengembangkan terbitan buku di bidang filsafat, kebudayaan, sosiologi, politik, juga buku-buku manajemen, pengembangan kepribadian, pembinaan keluarga, dan teknik sipil/arsitektur. (Ada yang bercanda, seharusnya namanya diubah menjadi Divisi Aneka Ria.) Salah satu tantangan yang pernah dan sampai sekarang masih kerap diajukan kepada saya adalah “Dapatkah Kanisius menjadi penerbit buku filsafat yang terpandang di Indonesia?”
Itu tantangan yang mudah-mudah sulit, sulit-sulit mudah untuk dijawab. Mudah, karena sampai batas tertentu tantangan itu sudah terjawab. Dulu, terutama ketika belum banyak penerbit yang menaruh minat pada filsafat, Kanisius boleh dikatakan menjadi acuan masyarakat dalam bidang filsafat. Kalau hendak belajar filsafat, baca buku Kanisius. Para penulis bidang filsafat menerbitkan bukunya di Kanisius. Sampai saat ini kiranya masih banyak orang menilai Kanisius sebagai penerbit buku-buku filsafat yang bermutu. Syukurlah bahwa banyak penulis filsafat adalah para imam Katolik sehingga memiliki sedikit banyak ikatan batin dengan Kanisius yang merupakan milik Gereja. Tokoh-tokoh seperti Franz Magnis-Suseno dan Kees Bertens pun, di samping ke Gramedia, menyerahkan sebagian naskah terbaik mereka kepada Kanisius.
Namun, tantangan itu juga sekaligus tidak mudah dijawab karena pada tahun-tahun belakangan ini banyak penerbit muncul di negeri kita. Banyak di antara mereka adalah sekumpulan anak muda yang mendirikan penerbitan karena dorongan idealisme. Hasilnya mencengangkan. Berturut-turut terbit terjemahan karya-karya penting para tokoh pemikir dunia, sebut saja Nietzsche, Foucault, Hegel, C.G. Jung, Freud, dan sebagainya. Yang mengejutkan, mereka tidak gentar pada jumlah halaman yang ratusan bahkan nyaris mencapai seribu halaman. Padahal, di forum-forum evaluasi naskah kita terbiasa sangsi bila melihat naskah tebal. Berapa lama waktu untuk menerjemahkannya? Seharga berapa buku itu nanti akan dijual tanpa risiko menumpuk di gudang karena tidak terbeli masyarakat? Para penerbit kecil itu toh berani dan menemukan caranya sendiri: cari nama besar, terjemahkan secara cepat, cetak dengan kualitas sedikit rendah, bungkus dengan sampul yang didesain artistik. Terbukti, buku mereka laku di pasaran. Mungkin nama besar, desain sampul, dan kebaruan tema merupakan faktor pendukung yang utama, karena sebetulnya cukup banyak di antaranya kualitas terjemahannya tidak baik. Bagaimanapun juga, rentetan terbitan itu cukup untuk menyadarkan saya bahwa tidak mudahlah sekarang untuk merebut perhatian khalayak.
Agaknya tantangan itu harus dijawab oleh semua orang Kanisius. Saya dan rekan-rekan di Divisi Humaniora perlu lebih selektif memilih naskah untuk diterbitkan dan menjaga kualitas terjemahan serta suntingan. Saya pernah meloloskan sebuah naskah yang dijamin oleh seseorang yang saya pandang berwibawa di bidangnya. Setelah terbit, barulah saya menyesal melihat betapa buruknya terjemahan buku itu. Saya juga perlu lebih aktif mencari pengarang yang baik atau buku asing yang baik untuk diterjemahkan. Untuk yang terakhir ini tantangannya agak berat karena saya harus pandai-pandai berhitung dengan jumlah naskah yang harus dikerjakan. Ini mengurangi mobilitas. Dan sangat disayangkan bahwa akses internet, yang sebetulnya sangat strategis untuk kepentingan ini, tidak tersedia secara leluasa bagi para editor.
Rekan-rekan di bagian Composing dan Desain pun ditantang untuk dapat membuat buku-buku Kanisius tampil lebih memikat. Belakangan ini mulai muncul desain sampul dan setting yang lebih memikat. Barangkali ide-ide segar dan berjiwa muda memang selayaknya diberi peluang lebih banyak. Tantangan bagi rekan-rekan di bagian Pemasaran juga tidak kecil. Dalam segala keterbatasan yang ada sekarang, dapatkah mereka menemukan cara-cara yang lebih efektif dalam memasarkan buku-buku yang telah dikerjakan dengan segala susah payah itu? Terakhir, pihak top management pun ditantang untuk memfasilitasi dan mensinergikan semua potensi yang ada di Kanisius: berani melakukan terobosan (misalnya meningkatkan honor terjemahan, agar keluar dari lingkaran setan terjemahan buruk karena honor rendah dan honor rendah karena terjemahan buruk), lebih sigap dalam menyediakan perangkat kerja (upgrade komputer secara berkala, memberikan akses internet kepada editor dan petugas promosi), dan lebih terbuka terhadap ide-ide baru.
Di usianya yang ke-80, saya dan kita semua yang ada di Penerbit-Percetakan Kanisius kiranya masih perlu terus belajar. Banyak.

--- 200, menjelang hari jadi Penerbit Kanisius ke-80

Comments

Dreamers said…
ada yang tau ngga penerbit-penerbit novel yang berkualitas?

Popular Posts